Kolaka Utara, Globalterkini.com – Barisan gunung hijau menjulang, bersusun rapi, tampak sangat artistik. Pemandangan itu bagaikan benteng alam yang memagari Teluk Bone, membujur dari utara ke selatan. Itulah kabupaten Kolaka Utara yang di dominasi oleh pengunungan. Sebagian kecil hamparan tanah datar berbukit landai dikaki gunung, menjadi pemukiman masyarakat.
Keindahan dan kekayaan alam kabupaten Kolaka Utara, laksana sembrani bagi pendatang untuk mengais rejeki di daerah ini. Tanah pegunungan yang mengandung biji nikel, jadi incaran para konglomerat dan penguasa selama bertahun – tahun. Disana pula, masyarakat berpeluh, berkutat dengan kebun jambu mete, kelapa, dan cengkeh, sebagai ikon daerah ini.

Konflik dan insiden mulai mencuat ketika bisnis konglomerat tanah merah, mencengkeramkan kukunya, dan mulai melindas sebagian hak – hak masyarakat. Laut, lingkungan, sumber – sumber mata air serta lahan perkebunan, menerima dampak dan terabaikan. Begitu pula dengan strategi adu domba untuk memecahkan kekuatan atau perlawanan – perlawanan yang muncul dikalangan aktivis dan masyarakat, mulai dimainkan.
Gesekan kepentingan untuk mencari keuntungan, tak ayal menimbulkan insiden dan konflik. Mereka yang dirampas hak nya, di kriminalisasi, dan dizholimi, bingung kemana hendak mencari keadilan. Tirani kekuasaan seakan berdiri pongah di atas jeritan rakyat. Seperti itulah balada tanah merah yang menjadi penomena ketika bermain diluar prosedur dan regulasi.
Hadirnya beberapa perusahaan penambang di Desa Sulaho, kecamatan Lasusua kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, mulai mengubah wajah alam yang hijau nan subur, menjadi gersang. Gunung-gunung diurug dan material tanahnya yang mengandung biji nikel (ore), diangkut untuk dipindahkan ke daerah lain.
Disinyalir tidak adanya konsistensi perusahaan terhadap aturan, menimbulkan sejumlah masalah yang kian carut marut. Mulai dari kesepakatan kontrak kompensasi, soal koordinat lokasi produksi sampai pada soal pembuatan dermaga atau Jety pelabuhan.
Berawal dari situ, peristiwa penyerangan dengan senjata tajam jenis badik terhadap H. Awir, selaku pemilik lahan, terjadi pada hari Minggu, 28 Juni 2020 lalu. Saat itu, H. Awir dijemput dirumahnya dan dibawa ke lokasi dengan alasan hendak melakukan negosiasi penyelesaian masalah kompensasi. Namun dirinya tiba – tiba diserang dengan sebilah badik oleh seseorang bernama Aris. Beruntung ketika itu tidak terjadi pertumpahan darah. Awir kemudian melaporkan peristiwa dugaan pidana pengancaman tersebut ke Mapolres Kolaka Utara pada hari selasa, 30 Juni 2020, nomor LP/54/VI/2020/Sultra/SPKT Res Kolut.
Dihari yang sama, pihak perusahaan PT. Citra Silika Mallawa (CSM), juga melaporkan H. Awir dan M. Nur, di Mapolres Kolaka Utara, dengan nomor LP/55/VI/2020/Sultra/Res Kolut tanggal 30 Juni 2020. Keduanya lalu menjadi tersangka melalui surat penetapan nomor S.Tap/65/IX/2020/Reskrim. H.Awir dan M. Nur dijerat dengan pasal 162 Undang – Undang RI Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Jo pasal 55 ayat (1) KUH Pidana.
Pasal 162 Undang Undang RI nomor 3 tahun 2020 menjelaskan “setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi sarat – sarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah)
Tidak sampai disitu, kepala dusun IV Desa Sulaho, Abdullah, juga dilaporkan ke Mapolres Kolaka Utara terkait tindakan memalang lahan yang diklaim sebagai miliknya, pada hari Sabtu, 19 September 2020.

Sehari setelah aksi pemalangan bersama beberapa masyarakat, (21/9), Abdullah kemudian dipanggil untuk dilakukan mediasi bersama pihak perusahaan. Akibatnya, isteri Abdullah dibawa ke rumah sakit Djafar Harun, Kolaka Utara untuk menjalani perawatan, diduga karena depresi, hingga mengalami stroke ringan. “Kondisinya masih lemah dan belum bisa dipulangkan” kata Abdullah kepada globalterkini saat disambangi di RS Djafar Harun.
Kemungkinan sakitnya istri akibat kasus yang menimpa dirinya. Sebab sehari setelah dirinya dipanggil ke Mapolres Kolut untuk mediasi terkait aksi memalang lahan miliknya, kesehatan istrinya tiba – tiba drop dan dibawa kerumah sakit. Ujar Abdullah menambahkan.
Pembina lembaga Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) kabupaten Kolaka Utara, Ahmad Yarib mensinyalir adanya upaya kriminalisasi masyarakat yang mempertahankan hak – haknya. “Biar masyarakat melihat jika mereka melakukan aksi, akan diproses hukum. Sehingga masyarakat takut untuk melakukan tindakan serupa”. Tutur Yarib kepada globalterkini.
Ahmad Yarib juga menyampaikan banyak hal terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan pihak perusahaan. Seperti pembangunan dan pengoperasian jety (dermaga) yang tidak memiliki ijin lingkungan dan ijin operasional serta penimbunan wilayah laut (reklamasi) tanpa ijin dari kementerian terkait. Ini sebuah pembiaran seakan tidak bisa tersentuh hukum. Tegas Yarib
Demikian pula diungkapkan Yarib, dengan adanya peristiwa seorang operator alat berat bersama seorang anak yang meninggal beberapa waktu lalu. Diketahui jika peristiwa tersebut merupakan kecelakaan kerja akibat terjadinya longsor. Siapa yang bertanggung jawab, belum diketahui endingnya sampai hari ini.
Awir maupun Abdullah berharap, agar ada jalan keluar terhadap permasalahan ini. Kami hanya mempertahankan hak dan menuntut pihak perusahaan membayar kompensasi lahan sesuai perjanjian yang sudah disepakati. Apalagi sebelumnya, perusahaan sudah pernah bayarkan untuk masa kontrak satu tahun. Tapi kenapa sekarang tidak dibayar bahkan melaporkan kami?. Kata H. Awir dengan nada kesal.
Tim Redaksi