PendidikanRagam

Kajian Sosiologi Komunikasi Terhadap Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha Pada Jasa Rapid Test Covid di Rumah Sakit

181
×

Kajian Sosiologi Komunikasi Terhadap Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha Pada Jasa Rapid Test Covid di Rumah Sakit

Sebarkan artikel ini

Oleh :
Rani Fadillah Amini.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menciptakan terdapatnya suatu gejala yang berpotensi melanggar hukum persaingan usaha dikala pandemi covid- 19, ialah pelanggaran pada aksi penangkalan serta pengecekan (Rapid test) yang di ikatkan (tying in) dengan produk uji lain lain. KPPU menebak, pihak tertentu mewajibkan konsumen ataupun penerima jasa pelayanan rapid test buat menerima totalitas paket deteksi Covid-19 dengan bayaran mahal, kendati sebagian prosedur sesungguhnya bisa jadi tidak dibutuhkan. Sehingga KPPU berinsiatif buat melaksanakan penilitian terhadap masalah layanan penaksiran Covid-19 oleh rumah sakit.

Wajib diteliti apakah memanglah benar ada aplikasi semacam itu di dalam masyakarat, bila benar terdapatnya hingga wajib diteliti apakah memanglah uji tersebut diperlukan diiringi dengan sebagian uji lain semacam ct scan, pengecekan darah, pengecekan oleh dokter spesialis penyakit dalam, pcr serta sebagainya. jangan hingga warga setelah itu wajib membayar atas seluruh uji yang ditawarkan dalam paket itu sementara itu sesungguhnya tidak butuh. data ini hendak kita teruskan ke riset buat setelah itu kita tentukan tindak lanjut apa yang hendak diambil. bila produk bonus tersebut bukan komplementer, hingga perihal ini berpotensi melanggar norma pasal 15 ayat (2) UU Nomor. 5 tahun 1999 tentang perjanjian tertutup tying arrangement yang merugikan penderita sebagai konsumen serta memunculkan persaingan usaha tidak sehat.
Kemampuan pelanggaran hukum persaingan usaha spesialnya Tying Agreement sebagaimana pasal 15 (2) UU Nomor. 5 Tahun 1999 oleh rumah sakit sudah masuk sesi riset oleh KPPU per April 2020.

Baca Juga :   Kasus Illegal Logging, Kades Rappa Dijatuhi Sanksi Administratif

KPPU mencurigai terdapatnya aksi tying agreement dari pengecekan lab Rapid test yang di ikatkan ataupun dipaketkan dengan paket uji lain di rumah sakit tertentu. Bisa dikatakan perbuatan tying agreement ataupun bukan setelah itu wajib dilihat dari konsep serta dalam pasal 15 tentang perjanjian tertutup, spesialnya pada ayat 2 tentang tying agreement. Pasal 15 ayat 2: “Pelakon usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang muat persyaratan kalau pihak yang menerima benda serta ataupun jasa tertentu wajib bersedia membeli benda serta ataupun jasa lain dari pelakon usaha pemasok.”

Bila dijabarkan hendak membentuk unsur- unsur selaku berikut: Pelakon usaha; Perjanjian; Pihak lain; Pihak yang menerima benda serta ataupun jasa tertentu wajib bersedia membeli benda serta ataupun jasa lain. Komentar yang memantapkan perihal ini dikemukakan oleh Profesor. Nindyo Pramono guru besar fakultas hukum universitas gadjah mada selaku pakar pada sidang terpaut dugaan pelanggaran Tying Agreement oleh PT Telekomunikasi Indonesia dalam Program layanan Triple Play (Internet di ikatkan dengan telfon rumah serta ip Televisi) menarangkan kalau dalam uraian teori bila membicarakan tentang perjanjian tertutup sebagaimana diatur dengan Pasal 15 (2) pasti perjanjian antar pelakon usaha dengan pelakon usaha yang lain, kontrak berlangganan antara pelakon usaha dengan konsumen dalam penyediaan layanan oleh pelakon usaha untuk konsumennya tidak tercantum perjanjian yang diartikan Pasal 15 (2) Nomor. UU 5/1999 disebabkan 15 (2) itu merupakan perjanjian antar pelakon usaha dengan pelakon usaha yang lain.

Baca Juga :   Wakil Bupati : Bone Paling Aman, Damai, Jujur dan Adil Pada Pemilu 2019

Pada intinya sosiologi komunikasi dimana jembatan itu dibangun berdasarkan kajian sosiologi tentang interaksi sosial antara penderita serta rumah sakit tidak bisa secara langsung dikatakan selaku tying agreement. Tetapi dalam masalah semacam ini senantiasa bisa jadi gejala kalau pengikatan produk yang dicoba oleh rumah sakit tersebut berawal dari perjanjian pengikatan yang dicoba oleh pelakon usaha (produsen alat-alat Kesehatan ataupun pelakon usaha lain) yang menjual rapid ini terpaket kepada rumah sakit, sehingga rumah sakit memberlakukan perihal yang sama kepada konsumennya ialah penderita itu sendiri.

Pengikatan produk rapid dengan paket uji lab lain ini melanggar hak subyektif orang lain disebabkan wajib membayar lebih buat uji lain yang sejatinya belum pasti diperlukan serta/ataupun yang kedua merupakan berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan ialah Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Dominasi serta Persaingan Usaha Tidak Sehat sebab pelanggaran pada pasal 15 ayat 2 tentang tying agreement. Tetapi terhadap pelanggaran tying agreement wajib dibuktikan dahulu apakah penuhi unsur-unsur nya bersumber pada teori-teori yang terdapat dalam hukum persaingan usaha.
Ada kemampuan pelanggaran hukum persaingan usaha pada jasa rapid test yang diikatkan dengan paket uji lain ini, dengan terdapatnya perjanjian antara pelakon usaha lain dengan rumah sakit ataupun kebalikannya yang mensyaratkan pengikatan rapid test dengan uji laboratorium lain.

Baca Juga :   BNN Awasi 10 Oknum Polisi Terkait Peredaran Narkoba di Bone

Dalam konsep perjanjian tertutup spesialnya pada pasal 15 ayat 2 yang mengendalikan tentang perjanjian antar pelakon usaha, bila pengikatan produk rapid test ini merupakan akibat dari terdapatnya perjanjian antar pelakon usaha dibalik perbuatan tersebut hingga sangat berpotensi melanggar hukum persaingan usaha yang di atur dalam pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No 5 tahun 1999 tentang larangan tying agreement, tetapi bila pengikatan produk rapid test ini merupakan inisiatif dari pihak rumah sakit.  ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *