Bone, Global Terkini- Kantor Hukum Pawero (KHP) melakukan audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bone terkait Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang dinilai bermasalah.
Audiensi ini diinisiasi oleh KHP melalui surat permohonan audiensi tertanggal 17 Juli 2024, diterima oleh Khairul Amran, S.T., dan berlangsung di ruang Wakil Ketua III DPRD Kabupaten Bone pada Jumat, 4 Oktober 2024.
Hadir langsung Direktur dan Mitra Pengelola Kantor Hukum Pawero, Umar Azmar MF, M.H., C.DPO., bersama mitra-mitra profesional KHP, yakni Yusrang, S.H., M.H., C.TL., C.LA., Muh. Iqbal. A., S.H., M.H., serta A. Muh. Iqbal Rimar, S.H.
Fokus audiensi bertujuan untuk membahas ketentuan-ketentuan dalam Perda Pajak dan Retribusi Daerah, khususnya yang mengatur tentang Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) pada kluster Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman.
Diantaranya adalah Pasal 19 ayat (2) huruf a, yang sederhananya mengatur bahwa pelaku usaha dengan peredaran usaha Rp 3.000.000,00 ke atas per bulan adalah wajib pajak.
“Batasan ini sangat rendah dan tidak realistis, nilainya bahkan lebih kecil dari Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan,” tegas Umar Azmar.
Lebih lanjut, pengenaan 10% tarif pajak terutang (Pasal 27 ayat (1) Perda 1/2024) tanpa klasifikasi usaha adalah kebijakan yang tidak proporsional.
“Jika tak diubah, Perda ini menciptakan ekosistem bisnis dimana usaha mikro dan kecil harus bersaing di kelas dan dengan kewajiban yang sama dengan level menengah, bahkan non umkm,” tambah Yusrang.
Umar menjelaskan bahwa Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menetapkan bahwa tarif PBJT maksimal sebesar 10%, ketentuan ini membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mendesain ekosistem bisnis yang sesuai dengan keunggulan daerah dengan menetapkan tarif PBJT di bawah atau maksimum 10%.
“Penerapan tarif maksimum tanpa memperhitungkan keunggulan daerah, klasifikasi usaha, dan kemampuan bersaing akan menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha, khususnya UMK, yang terpaksa berkompetisi di bawah ketentuan yang sama,” lanjut Umar.
Demikian sehingga penerapan tarif maksimum ini tanpa memperhatikan kemampuan bersaing, dan klasifikasi usaha memicu ketidakadilan bagi pelaku usaha kecil (UMKM) yang harus bersaing di ruang yang sama dengan pelaku usaha menengah dan besar.
KHP menilai bahwa ketentuan minimum peredaran usaha sebesar Rp 3.000.000 dan pengenaan pajak 10% tanpa memerhatikan klasifikasi skala usaha dapat memunculkan iklim bisnis yang tidak sehat di Kabupaten Bone.
Pelaku usaha kecil yang belum mencapai skala menengah dipaksa untuk bersaing dengan pelaku usaha besar dalam persyaratan pajak yang sama, yang pada akhirnya berpotensi melemahkan daya saing UMKM lokal.
Audiensi ini diharapkan menjadi langkah awal untuk mengkaji ulang kebijakan perpajakan di Kabupaten Bone, sehingga lebih adil dan proporsional serta memberikan ruang bagi pelaku usaha kecil untuk tumbuh dan berkembang dalam iklim bisnis yang kondusif. ***