Mamasa, Global Terkini- Proyek pengadaan air bersih di Kabupaten Mamasa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menuai sorotan tajam.
Dua Puskesmas menjadi sasaran program, anggarannya tak main-main, mencapai Rp 150 juta per lokasi.
Berdasarkan informasi dihimpun, dua Puskesmas yang menerima paket pekerjaan tersebut adalah Puskesmas Mamasa dan Puskesmas Mehalaan. Sayangnya, dugaan penyimpangan muncul setelah diketahui bahwa Puskesmas Mamasa tidak jadi menggunakan sumur bor, melainkan beralih ke suplai dari PDAM.
Yang membuat publik heran, meski sumur bor tidak jadi dibangun, dana proyek diduga telah dicairkan sepenuhnya.
“Puskesmas Mamasa tidak jadi sumurnya dan cair uangnya. Kalau tidak salah rekanannya sudah bayar. Kasihan jasa sumur bor ke tukang itu, tapi tidak tahu kenapa tidak jadi sumurnya,” ujar sumber terpercaya yang enggan disebutkan namanya, Rabu 11 Juni 2025.
Keterangan itu diperkuat dengan pengakuan bahwa jumlah sumur bor yang dikerjakan pada 2024 hanya dua, bukan tiga seperti informasi awal.
“Bukan tiga tapi hanya dua. Puskesmas yang lain yang ada hanya perpipaan. Karena lain-lain jenis kegiatannya,” lanjut sumber tersebut.
Paket pengerjaan sumur bor disebut hanya dilakukan di Puskesmas Mamasa dan Mehalaan. Namun, hanya di Mehalaan pekerjaan dikabarkan rampung.
Meski begitu, polemik tak berhenti di situ. Pekerja lokal mengeluhkan belum dibayarnya upah mereka oleh rekanan pelaksana proyek.
“Kebetulan tukang bornya saya di Mehalaan. Sumurnya sudah dibuat dan airnya sudah mengalir, namun kami belum dibayar sama rekanan,” kata Deni Pualilin, pekerja lapangan proyek tersebut.
Ia juga mengungkap bahwa timnya turut mengerjakan menara air (water tower), tapi belum bisa melanjutkan pemasangan karena pembayaran jasa sumur bor belum dilakukan.
“Kebetulan juga kami yang kerjakan tower airnya, namun sampai saat ini kami belum pasang karena jasa bor kami saja belum dibayar sama rekanan,” katanya lagi.
Di sisi lain, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa, dr Ratna, telah membantah tudingan adanya kejanggalan proyek. Ia mengklaim semua telah melalui proses yang semestinya.
“Bisanya itu, saya bukan pemain proyek. Ke kantor mi ketemu dengan PPK ku. Yang jelas melalui dengan proses bosku, info yang kita dengar tidak benar,” tegas dr Ratna.
Namun fakta di lapangan menunjukkan adanya perbedaan mencolok antara data administrasi dan realisasi fisik. Dari tiga paket yang disebutkan, hasil penelusuran hanya menemukan dua yang benar-benar dikerjakan, itu pun dengan masalah yang belum terselesaikan.
Kasus ini menjadi gambaran buram pengelolaan dana negara di sektor vital seperti kesehatan. Di tengah kebutuhan masyarakat terhadap air bersih, proyek bernilai ratusan juta justru menyisakan pertanyaan besar, ke mana aliran uangnya, jika air bersihnya tak pernah mengalir?