Bone, Global Terkini- Pemda Bone dikabarkan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 300 persen pada 2025. Hal itu memantik gelombang protes. Kebijakan tersebut bahkan mendorong organisasi kemahasiswaan turun ke jalan, mengibarkan spanduk dan berorasi di depan kantor pemerintah.
Di tengah riuh demonstrasi itu, suara warga seperti Ardy Anas ikut mengemuka. Ia tak menutupi kekecewaannya.
“Kondisi ini menyebabkan kehidupan dan kesejahteraan semakin terpuruk. Saya ingin menyebutkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum memiliki pekerjaan tetap (hidup layak) malah dikejutkan dengan kebijakan pemerintah yang semakin menambah beban masyarakat,” ujarnya, Selasa 12 Agustus 2025.
Ardy mengaku telah berkonsultasi dengan salah satu kantor hukum di Bone untuk mempelajari celah hukum dari kebijakan tersebut.
Ia mengutip UU No. 1 Tahun 2022 Pasal 41 Ayat 1, yang secara tegas menetapkan tarif PBB-P2 paling tinggi 0,5 persen. Ia juga merujuk Perda No. 1 Tahun 2024 Pasal 8 Ayat 1, yang mematok tarif 0,12 persen untuk NJOP di bawah Rp 1 miliar, 0,20 persen untuk NJOP Rp 1 miliar ke atas, dan 0,1 persen untuk lahan produksi pangan dan ternak.
“Dari dasar hukum ini saya bertanya-tanya apa dan di mana dasar serta alasan pemerintah Bone menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan mulai dari 84 persen bahkan hingga di atas 300 persen,” kata Ardy.
Ia menuntut pemerintah tampil dengan penjelasan transparan, mengingat pajak semestinya berpijak pada empat prinsip, keadilan, kepastian, kemudahan, dan efisiensi.
Menurutnya, pemerintahan yang baik tak lepas dari asas keterbukaan.
Pemda Bone membantah tudingan kenaikan fantastis tersebut. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Bone, Muh Angkasa, menegaskan yang dilakukan hanyalah “penyesuaian” berdasarkan Zona Nilai Tanah (ZNT) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bone.
Menurutnya, target PBB-P2 memang naik, tapi 65 persen, dari Rp 30 miliar pada 2024 menjadi Rp 50 miliar pada 2025 menyusul rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar pemerintah memutakhirkan nilai bumi yang dinilai terlalu rendah dibanding harga pasar.
“Karena dari pandangan BPK bahwa tanah di Bone terlalu rendah. Padahal nilai tanah masyarakat mengalami peningkatan dan perlu penyesuaian nilai,” ujar Angkasa.
Ia memastikan perubahan tidak berlaku merata, 25 persen objek pajak justru tak mengalami kenaikan. Bahkan katanya, penyesuaian ini bisa menguntungkan warga ketika menjual tanah.
“Dengan kondisi nilai PBB-P2 naik, maka nilai tanah masyarakat ketika mau dijual juga akan naik. Kondisi ini juga membantu daerah kita untuk mewujudkan kemandirian fiskal dari sisi penerimaan asli daerah,” pungkasnya.