Global Terkini- Sebagai salah satu kabupaten lumbung pangan terbesar di Sulawesi Selatan, Bone menghadapi pergeseran dalam dinamika pertanian. Fokus yang selama ini ada pada hasil tani seperti padi, jagung, dan komoditas lainnya, kini beralih menjadi petani itu sendiri. Menurut Umar Azmar MF, praktisi hukum bisnis – Kantor Hukum Pawero, isu yang muncul bukan lagi tentang hasil tani yang menurun atau melimpah, tetapi bagaimana petani telah menjadi komoditi yang ditransaksikan untuk kepentingan tertentu.
Politisasi pertanian di Bone semakin terasa sejak masuknya sejumlah program bantuan dan kebijakan pemerintah yang mengatasnamakan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, ironisnya, alih-alih memperbaiki kondisi pertanian, kebijakan-kebijakan ini justru menempatkan petani dalam posisi yang rentan. Umar Azmar, praktisi hukum yang pada akhir 2023 lalu membela kepentingan 19 eks Karyawan RS.Hapsah ini memaparkan “Petani tidak lagi dipandang sebagai subjek utama yang memproduksi komoditas pertanian, melainkan sebagai objek politisasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis”.
Petani Sebagai “Komoditi”
Dalam beberapa tahun terakhir, politisasi sektor pertanian di Bone semakin terlihat jelas. Berbagai program bantuan pemerintah yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan petani justru dimanfaatkan sebagai alat politik. Program seperti subsidi pupuk, benih, hingga peralatan pertanian, sering kali didistribusikan dengan pertimbangan politis. Umar Azmar menyoroti bagaimana petani yang berafiliasi dengan kelompok tertentu lebih mudah mendapatkan akses ke bantuan ini, sementara yang lainnya diabaikan.
“Memasuki masa pemilihan, kami sering kali diingatkan untuk memilih kandidat yang peduli terhadap pertanian. Namun, setelah selesai, janji tinggal janji,” ujar seorang petani di Kecamatan Palakka. Keluhan serupa datang dari banyak petani yang merasa bahwa bantuan pertanian menjadi alat tawar-menawar politik, menghilangkan fokus pada peningkatan produktivitas pertanian itu sendiri.
Umar Azmar MF menjelaskan lebih lanjut bahwa ketergantungan petani pada bantuan pemerintah yang disalurkan melalui jalur politis ini menciptakan siklus ketidakberdayaan. “Petani menjadi komoditi utama dalam permainan politik, bukan lagi sebagai penggerak ekonomi lokal yang harus diberdayakan,” tegas Umar. Kebijakan yang berfokus pada eksploitasi suara petani tidak memberi mereka ruang untuk berinovasi atau mengembangkan sistem pertanian yang lebih mandiri.
Kondisi ini semakin memperburuk ketergantungan petani pada pemerintah dan menghambat mereka untuk beralih ke metode pertanian yang lebih modern dan efisien. “Politisasi ini membuat petani terperangkap dalam siklus janji-janji politik yang tidak selalu terealisasi,” tambahnya. Umar juga menyatakan bahwa pendekatan hukum dalam agribisnis harus memastikan adanya keadilan bagi petani, bukan justru memperkuat ketergantungan mereka (petani) pada aktor-aktor politik.
Politisasi yang Menggerus Kemandirian Petani
Tren politisasi ini dikritik keras oleh berbagai pihak, termasuk Umar Azmar MF. Menurutnya, petani di Bone seharusnya dipandang sebagai pelaku utama dalam ekosistem ekonomi, bukan sebagai alat politik. “Kita harus kembalikan fokus pada hasil tani. Petani tidak boleh lagi menjadi komoditi politik untuk kepentingan segelintir elit,” katanya.
Umar Azmar MF menekankan bahwa reformasi kebijakan pertanian yang berpihak pada petani adalah solusi yang paling mendesak. Salah satunya adalah memastikan distribusi bantuan dilakukan secara adil dan transparan, serta dorongan aktif kepada petani untuk mengadopsi teknologi pertanian modern. Kebijakan ini harus berorientasi pada produktivitas hasil tani dan keberlanjutan usaha pertanian, bukan pada eksploitasi suara/dukungan dalam kontestasi politik.
Namun, jika politisasi terus terjadi, petani akan semakin terpuruk dalam siklus ketergantungan yang tidak sehat. “Jika kita terus memposisikan petani sebagai komoditi, jarak antara janji kesejahteraan dan realitas yang dihadapi petani akan semakin jauh,” tambah Umar Azmar. Kini saatnya untuk mengembalikan petani ke posisi subjek utama dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Komoditi pertanian di Kabupaten Bone seharusnya kembali berfokus pada hasil tani yang berkualitas, bukan pada politisasi petani. Keberpihakan pada petani seharusnya menjamin kesejahteraan dan produktivitas pertanian di Kabupaten Bone dapat ditingkatkan tanpa harus mengorbankan martabat petani sebagai aktor ekonomi utama. Seperti yang disampaikan oleh Umar Azmar MF, “Pertanian adalah fondasi ekonomi, dan petani harus diberdayakan, bukan dipolitisasi”. ***